Ada Preman di Sekolah

Fenomena tawuran antarpelajar sebenarnya sudah merupakan hal klasik. Bahkan di dekade 90-an pun, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, tawuran ini banyak terjadi di Makassar. Namun, apa yang terjadi belakangan ini di Jakarta jelas sangat memprihatinkan.
Betapa tidak, dalam dua hari dua nyawa anak muda harapan masa depan bangsa ini meregang nyawa di “arena” tawuran. Kejadian ini pun kembali menyentak hati dan pikiran kita soal apa sebenarnya yang terjadi dengan dunia pendidikan kita. Mengapa pelajar kemudian begitu beringas dan berani menumpahkan darah kawannya sendiri?
Soal tawuran di kalangan pelajar tentu merupakan fenomena yang tak berdiri tunggal. Jakarta misalnya, dengan segudang masalah sosial yang menyertainya, misal kemiskinan, kesenjangan sosial, angka pengangguran yang tinggi, tingkat stress yang tinggi akibat kompetisi hidup yang ketat, kemacetan, premanisme, dan yang lainnya jelas juga turut andil dalam munculnya tindakan subversive ini. Namun, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, mengatakan bahwa penyebab terjadinya kemerosotan moral dan etika di Indonesia karena pendidikan kita gagal mencerdaskan masyarakat.
Desain pendidikan kita cenderung mendidik individu agar memiliki ketajaman otak/berpikir saja. Tidak memberikan pendidikan watak dan karakter (MI,17/9/2012). Pendidikan karakter yang mendorong siswa untuk berprilaku humanis dan kreatif, kurang mendapat tempat dalam desain pendidikan kita.
Gedung Mati
Tak dapat disangkal bahwa sekolah sekarang menjadi gedung mati yang membekukan ketajaman nurani. Para siswa ditelikung dalam desain pendidikan yang sepenuhnya abai terhadap konteks sosial di luar sekolah. Ruang sekolah menjadi ruang asing, yang justru mengajarkan sesuatu yang sangat jauh berbeda dari ruang sosial budaya di luarnya. Hingga pada akhirnya menjadikan siswa merasa seolah hidup tak berjejak, karena lepas dari nilai-nilai luhur sosial-budaya masyarakatnya sendiri.
Meskipun ada banyak hal yang menjadi sebab terjadinya tawuran, sekolah tetap tak bisa cuci tangan dengan menunjuk hidung di luar dirinya sebagai akar masalah. Saya rasa dunia pendidikan kita harus segera berbenah, mengevaluasi diri ketika siswanya selalu terlibat dalam siklus tawuran tiada henti. Setidaknya pendidikan karakter yang telah dicanangkan sejak 2 tahun silam masih belum menjadi pengalaman hidup keseharian sehingga belum terinternalisasi secara riil dalam diri warga belajar.
Dalam hemat saya, ada beberapa catatan-catatan penting soal kegagalan sekolah dalam mengawal pendidikan di negara kita sehingga muncullah perilaku amoral di kalangan pelajar. Pertama, sekolah sebagai institusi pendidikan yang mapan kurang menyuplai pendidikan moral dan etika pada warga belajar. Selama ini, ajaran-ajaran yang mendapatkan penekanan di sekolah selalu soal pelajaran akademis dalam satuan teori-soal, seperti matematika, fisika, sejarah, dan seterusnya. Kalaupun ada mata pelajaran moral atau agama, ia hanya direduksi sebatas pelajaran yang diajarkan teori an sich dan hanya mendapatkan porsi sangat kecil dalam kurikulum pembelajaran di sekolah.
Sekolah pun seperti “lepas tangan” dalam hal aplikasi, yang penting (bagi sekolah) pelajarannya sudah disampaikan, dan semuanya beres. Sistem persekolahan yang ada selama ini belum bisa memberi jaminan yang dalam hal afektif atau pengolahan emosi. Ilmu dan pelajaran yang diberikan di sekolah baru bersifat kognisi atau dalam hal pemikiran an sich, sekedar ilmu. Padahal, yang terpenting adalah aplikasinya sebab ilmu yang hanya dipahami sebagai ilmu tak ada gunanya ketika dihadapkan dengan realitas sosial yang ada.
Kenapa tawuran terjadi, sementara anak didik sudah diajarkan pendidikan moral atau akhlak dalam agama? Jawabannya itu tadi, sekolah hanya mengajarkan teori belaka.
Hal inilah yang harus segera diubah. Sekolah seharusnya jadi komunitas sosial yang bisa mengajarkan sekaligus menerapkan pendidikan moral bagi murid-muridnya. Setiap orang di sekolah, baik murid, guru, kepala sekolah, pedagang, penjaga sekolah, dan yang lainnya, harus bisa berinteraksi sosial dengan baik dalam sebuah komunitas bersama yang mengangkat etika norma, dan moralitas
Siswa Mesin
Selain itu, tipikal sistem pendidikan kita yang tak humanis yang memberlakukan pelajar layaknya sebuah mesin yang tiap hari disuguhkan dengan rutinitas yang menyebalkan. Rutinitas yang memenjara kreatifitas, hobi, bakat dan minat warga belajar. Sehingga tak jarang pelajar menyalurkannya dalam kegiatan-kegiatan yang negatif.
Kita sering kali menemukan OSIS yang sejatinya dapat menjadi wadah bagi pelajar untuk mengasah kemampuan leadership dan bersosialisasi hanya didesain oleh sekolah layaknya event organizer. Organisasi intra sekolah ini tak lebih dari sekedar menjadi panitia pelaksana tiap kali sekolah mengagendakan kegiatan. Selain itu, dapat dikatakan tak ada sedikitpun niatan sekolah untuk menghadirkan komunitas-komunitas kreatif yang dapat menumbuhkan jiwa produktifitas dan memberi ruang bagi pelajar untuk menunjukkan ke”aku”annya. Bagi sekolah, berorganisasi hanya berdampak negatif bagi pencapaian prestasi akademik peserta didik.
Kedua, guru, kepala sekolah dan stake holder pendidikan lainnya kurang berperan dalam pendidikan moral dan etika. Bahkan, guru seringkali menjadi trigger (pemicu) pelanggaran moral murid-muridnya. Misalnya seorang guru melakukan tindakan kekerasan kepada muridnya lewat hukuman fisik yang diberikan sekolah, secara tidak langsung hal itu telah mengajarkan si murid untuk melakukannya di luar.
Situasi sekolah yang hanya diwarnai rutinitas memuakkan hingga tidak membuat semangat belajar mereka tumbuh. Kepala sekolah dan guru-guru dalam pandangan para pelajar itu bukanlah figur-figur bersahabat dan hangat. Mereka hanya orang-orang tua yang sekedar datang pagi dan pulang sore membawa keluh kesah pada istri dan anak-anak mereka tentang gaji dan tunjangan yang dirasakan tidak pernah cukup untuk belanja sebulan. Sehingga ketika datang ke sekolah untuk mengajar mereka sering bermuka masam dan bertampang garang.
Ketiga, pendidikan orang tua dan pengaruh luar. Pendidikan orang tua dan faktor luar ini punya porsi cukup banyak dalam mempengaruhi maraknya tawuran pelajar. Misalnya, cara mendidik yang diterapkan orang tua penuh dengan kekerasan, akibat pergaulan di lingkungan masyarakatnya yang keras dan media informasi yang banyak menyuguhkan kekerasan.
Albert Bandura (1998) dalam learning social theory menyatakan bahwa kondisi lingkungan dapat memberikan dan memelihara respon-respon tertentu pada diri seseorang. Hal itu karena individu melakukan transformasi sebagai representasi dari pengalaman proses pengamatannya terhadap individu model. Bandura mengembangkan model deterministic resipkoral yang terdiri dari perilaku, person/kognitif dan lingkungan. Menurut Bandura, proses mengamati dan meniru orang lain adalah merupakan tindakan hasil belajar. Teori yang dikemukakan Bandura ini menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan.
Selain itu, pelajar memiliki kondisi kejiwaan yang tidak pernah mau terikat dan diikat dengan apapun. Mereka hanya menuruti apa saja yang mereka senangi. Dan semua itu mereka temukan di luar sekolah. Saat mereka pulang, saat mereka bergerombol di jalanan, saat mereka kebut-kebutan, saat mereka ke mall dan saat mereka bercengkrama tentang segala hal di media social. Di luar sekolah mereka seakan menemukan dunia yang tidak mereka jumpai dari rutinitas sekolah, dunia yang menjemukan menurut mereka.
Anak usia sekolah (remaja) seperti dikatakan Soren Kierkegaard merupakan tahapan manusia tanpa orientasi hidup tertentu kecuali kesenangan belaka (estetis). Usia remaja yang dikuasai naluri seksual, oleh prinsip-prinsip kesenangan hedonistik dan bertindak menurut suasana hati (mood). Mereka tidak punya komitmen dan keterlibatan pada apapun. Kemauan mereka hanya mengikatkan diri pada kecenderungan masyarakat dan zamannya. Mereka menjadikan trend dalam masyarakat sebagai petunjuk, sebagai kitab dan kamus mereka sehari-hari.
Transformasi Sistem
Tak dapat dipungkiri lagi, kalau tawuran pelajar saat ini cenderung telah menjadi trend. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah yang revolusioner untuk segera memutus mata rantai penularan tindakan destruktif ini. Dan kesemuanya dimulai dari sekolah. Transformasi sistem pendidikansaya anggap merupakan hal yang urgen untuk segera dilakukan. Adalah mewujudkan pendidikan yang humanis-partisipatif, responsif dan mengedepankan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang terasa mulai tergerus oleh pengaruh kemajuan informasi dan globalisasi. Nilai-nilai kesetiakawanan sosial, tenggang rasa, penghormatan kepada sesama, persaudaraan, tanggung jawab social, dsb. Nilai-nilai ini tak bisa diserahkan hanya kepada guru agama atau PKn saja, tetapi harus juga diintegrasikan ke semua mata pelajaran dan disepakati oleh semua guru.
Pendidikan yang humanis-partisipatif pun harus dimulai dari mengubah cara pandang kita terhadap warga belajar. Pelajar mesti diposisikan sebagai subjek yang berkepentingan dalam proses pendidikan kita. Sudah saatnya menyudahi anggapan bahwa pelajar hanyalah objek yang tidak tahu apa-apa soal diri mereka. Seharusnya mereka juga mendapatkan ruang untuk mengartikulasikan dirinya dan turut berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan pendidikannya. Sekolah mesti segera menjadi tempat yang nyaman bagi warga belajar dalam mengeksplorasi dan menumbuhkembangkan jati diri. Mereka tak boleh lagi didesain menjadi sosok yang serba penurut, patuh dan taat pada komando karena yang akan terjadi adalah lahirnya sosok mekanis yang kehilangan sikap kreatif dan mandiri.
Meminjam istilah Paolo Freire, pendidikan Indonesia ke depannya harus membebaskan. Seperti apa yang dikenal dalam Islam, amar ma’ruf (mengajak pada kebenaran) nahi mungkar (liberasi, pembebasan) pendidikan mesti dititik beratkan pada pencarian kebenaran dan pembebasan dari tirani ketidakadilan dan segala tindak kekerasan. Sistem pendidikan yang represif harus segera dihapuskan. Pemberian punishment ditiadakan karena hal itu hanya sekedar menumbuhkan kesadaran naïf. Pendidikan kita kelak mestinya harus menanamkan kesadaran kritis lewat pendidikan yang persuasif-reedukatif. Jika hal ini tidak segera dilakukan, maka jangan heran jika ada “preman” di sekolah. Wallahu a’lam.(*)
 

UAN Bareng Pak Menteri

Meskipun mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, Kementerian Pendidikan Nasional kembali bersikeras akan melaksanakan Ujian Nasional. Di Harian Tribun Timur, Edisi 1 Januari 2011 yang lalu diberitakan Pemerintah tetap akan melaksanakan Ujian Nasional pada bulan Mei mendatang dengan format yang berbeda. Tak ada lagi Ujian Ulangan bagi siswa yang tidak lulus. Bagi yang tidak lulus, akan diberikan pilihan yakni mengikuti ujian paket C atau menunggu hingga ujian nasional tahun mendatang.
Berita ini tentunya merupakan kado awal tahun yang pahit dari pemerintah buat pelaku dunia pendidikan di Indonesia terutama pelajar yang kembali akan dihantui oleh UN. Hajatan akbar ini pastinya akan kembali menjadi momok paling menakutkan yang akan menghadirkan frustasi sosial mahaakbar, apatahlagi pemerintah tidak akan memberi ampun (baca : ujian ulangan) bagi mereka yang tak bisa memenuhi standar nilai yang ditentukan. Negara kembali hadir sebagai lembaga yang abai terhadap suara rakyat, guru dan pelajar yang menyatakan bahwa ujian nasional tidak sesuai dengan UU Sisdiknas, UU Guru dan prinsip paedagogis. Negara tak lagi menjadi nation yang melindungi hak-hak sipil warga negaranya dan kemudian berubah menjadi alat yang memonopoli kekerasan atas rakyatnya.<
Hentikan Ujian Nasional!
Jika kita menganalisa lebih jauh, tak ada lagi alasan bagi pemerintah untuk kembali menggelar Ujian Nasional. Secara hukum, UN telah dinyatakan inskonstitusional dan ilegal oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 21 Mei 2007 yang memutuskan bahwa Presiden, Wapres, Menteri Pendidikan Nasional dan Ketua BSNP, lalai memberikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga negara yang menjadi korban ujian nasional. Hal ini kemudian dipertegas lagi oleh putusan Mahkamah Agung yang melarang pelaksanaan ujian nasional. Sehingga pemerintah seharusnya mematuhi putusan hukum yang telah ditetapkan.
Kemudian dari perspektif tujuan dilaksanakannya ujian nasional yang katanya demi pemetaan dan perbaikan mutu pendidikan di negeri ini. Pemerintah hampir dikatakan tak pernah melakukan evaluasi terhadap hasil ujian nasional apalagi melakukan pemetaan dan perbaikan mutu. Masih jelas di benak penulis, ketika tahun lalu Menteri Pendidikan Nasional, Muh. Nuh berjanji di Makassar bahwa akan melakukan evaluasi, pemetaan dan perbaikan terhadap hasil ujian nasional yang baru saja dilaksanakan saat itu. Namun hingga saat dimana UN kembali akan digelar, belum ada upaya kongkrit dari pemerintah terhadap sekolah-sekolah yang lemah dalam pelajaran yang diujikan. Belum lagi upaya perbaikan dan pemerataan pendidikan yang belum juga dilakukan. Jika memang bertujuan memetakan mutu pendidikan, pemerintah mestinya memperbaiki dan meningkatkan akses, proses, biaya dan sarana pendidikan demi memperbaiki mutu.
Belum lagi komitmen pengembangan mutu pendidikan lewat anggaran belanja sebesar 20 persen pun belum terwujud dalam aksi nyata. Tercatat 55 persen gedung sekolah rusak, 25 persen diantaranya rusak berat. Jadi hanya 45 persen saja gedung sekolah yang dikategorikan baik. Apakah pemerintah akan terus menerus menutup mata dengan realitas ini? Dan kemudian bersikap apatis, tak mau peduli. Pemerintah sudah seharusnya sadar bahwa masih banyak di negeri ini, gedung sekolah yang berantakan dan dalam kondisi memprihatinkan. Atap sekolah yang rontok, dinding-dinding yang bolong, meja kursi reot dan berbagai sarana yang jauh dari standar minimal pelayanan pendidikan masih menjadi sebuah ironi di negara yang lebih dari setengah abad merdeka ini. Situasi tersebut hampir merata di seluruh pelosok negara. Banyak anak di negeri ini yang mengikuti kegiatan belajar mengajar dalam situasi yang mengenaskan. Sebagaimana yang dialami siswa anak petani miskin di Desa Pulau Nyiur, kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan yang belajar dalam satu lokasi yang dibagi menjadi tiga ruang dimana salah satunya untuk siswa tiga kelas. Tidak lulus ujian nasional atau di bawah standar tentunya bukan pilihan anak-anak itu sendiri. Mereka tidak bisa memilih situasi yang lebih baik untuk fasilitas dan layanan pendidikan.
Apakah adil menuntut hasil yang standar jika ruang kelas, guru dan fasilitas pembelajaran sebagai bagian dari proses pendidikan belum standar?. Penulis sepakat dengan para aktivis pendidikan yang menilai bahwa ujian nasional seperti pola berpikir tengkulak. Pemerintah hanya ingin memetik hasil dengan jalan pintas tanpa peduli proses untuk mendapatkan hasil. Padahal, masih sangat banyak anak yang kurang atau bahkan tidak memiliki akses dalam menyiapkan diri menghadapi ujian nasional.
Richard Pring (1995) menyebutkan bahwa terlalu banyak anak kita telah diperlakukan sebagai pihak yang tidak penting karena mereka tidak dapat berhasil di dunia akademis. Anak-anak kita-yang tidak lulus UN dianggap tidak mampu memasuki percakapan intelektual yang didefinisikan orang-orang yang memiliki posisi dalam kendali akademis. Para guru pun merasa pahit ketika melihat standar didefinisikan seluruhnya dari segi kerangka keunggulan akademis (kognitif) padahal para guru mengetahui bahwa ada banyak aspek yang dibutuhkan untuk membentuk pribadi seorang anak.
Jikalau sudah seperti ini, UN tak lagi menjadi sebuah alat untuk melakukan pemetaan dan perbaikan mutu pendidikan. UN secara tidak langsung hanya menjadi alat pembodohan dan penindasan sistemik. Anak didik di drill untuk menyelesaikan soal pilihan ganda yang berakibat pada pembentukan karakter siswa yang senang berspekulasi. Maka, jangan heran jika ada siswa yang pintar dan baik namun tidak lulus sementara siswa yang malas dan sering tidak masuk sekolah lulus.
Pola evaluasi seperti ini tentunya hanya akan melahirkan anak didik yang cerdas secara kognitif namun lemah secara afektif, psikomotorik maupun spiritual. Hal inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa banyak lulusan lembaga pendidikan kita hanya menjadi pengangguran karena tak memiliki skill dan soft skill (afektif) yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Penulis bahkan khawatir jika nantinya dunia pendidikan kita hanya akan melahirkan “Gayus Tambunan” baru. Lulusan-lulusan yang tidak memiliki integritas dan karakter yang kuat sehingga sangat mudah diperbudak oleh permainan politik dan kekuasaan.
Lain lagi dengan standarisasi nilai kognitif yang harus dipenuhi. Tak jarang di beberapa sekolah tiap tahunnya membentuk “tim sukses UN” agar anak didik sukses memenuhi standarisasi yang ditentukan. Seluruh komponen sekolah menguras tenaga semaksimal mungkin agar anak didik dapat lulus 100%. Karena selain demi keberhasilan pengajaran, hal ini juga demi sebuah prestise sekolah. Mulai dari les tambahan, kursus privat hingga tak jarang ada juga yang melakukan kecurangan. Seperti yang diberitakan di berbagai media tentang dilaksanakannya ujian nasional ulangan menyusul adanya penemuan tindak kecurangan (kebocoran soal) di beberapa daerah tahun lalu. Selain itu, dengan format UN yang baru dilansir oleh Kemendiknas dinilai hanya akan memberikan ruang yang lebih bagi sekolah untuk melakukan mark-up nilai, memberi “bekal” nilai gila-gilaan demi kelulusan siswa. Sehingga tak jarang nilai hasil UN tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Penulis pernah menemukan seorang guru yang mengeluhkan siswanya yang susah menerima pelajaran padahal nilai ujian nasionalnya di atas rata-rata.
Kita tentunya berharap agar Ujian Nasional tak lagi menjadi alat pembodohan dan penindasan sistemik yang hanya mengakibatkan jatuhnya “korban” dimana-mana. Cukup sudah kita melihat betapa banyak pelajar di negeri ini yang stress, frustasi atau bahkan bunuh diri hanya karena mereka tak bisa memenuhi keinginan pemerintah.
Hentikan Ujian Nasional. Lakukan evaluasi terhadap hasil UN tahun-tahun sebelumnya. Paparkan terapi (treatment) apa yang dipersiapkan pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan. Jangan hanya selalu mematok angka-angka batas kelulusan sementara tidak melakukan perbaikan secara komprehensif. Jangan lagi menghamburkan-hamburkan ratusan miliar uang negara untuk hajatan nasional yang hanya dijadikan lahan proyek bagi pihak yang tidak bertanggung jawab. Lebih baik gunakan dulu untuk memperbaiki fasilitas dan layanan pendidikan seluruh anak didik di negeri ini baru kemudian diuji secara nasional. Sudah saatnya kita mengakhiri kegemaran mengutak-atik kebijakan dan segera merancang blueprint pendidikan nasional agar visi pendidikan Republik Indonesia dapat lebih terarah.
Akhirnya, jika Kemendiknas masih tetap ngotot melaksanakan Ujian Nasional, kita tantang Pak Menteri, Bapak Muhammad Nuh, BSNP beserta jajarannya untuk ikut menyelesaikan soal ujian bersama pelajar di bulan Mei mendatang. Kita buktikan apakah beliau-beliau yang terhormat itu juga sanggup memenuhi standar yang ditentukannya sendiri.
 

Mau Ngebom Gereja Lagi, Silakan..

Tulisan ini bermula dari statement salah seorang teman Nasrani, Andre namanya, saat bercanda di depan rumahnya beberapa hari yang lalu. Teman saya bilang, “Tuhan kami menetap di hati bro,, tabe’(silakan)kalo mau ngebom gereja yang lainnya”.
Ada rasa haru, sekaligus malu mendengar pernyataannya. Bayangkanlah, ia tak membalas perlakuan para pengebom gereja itu dengan caci-maki atau bahkan balas mengebom. Tidak! ia malah memberi segurat senyum diakhir pernyataanya itu.Lantaran sikapnya yang manis itulah, saya dibuatnya malu. Bayangkanlah, dia malah memberi senyum seraya menyilakan kepada perusak gereja untuk membakar gereja lainnya. Kontras benar dengan tayangan video di televisi yang menyajikan tayangan orang-orang yang murka dan membabi-buta, merusak apa saja yang ada di hadapan mereka, termasuk gereja, seperti yang banyak diberitakan oleh media massa.
Saya yakin, hatinya dan saudara-saudara saya yang beragama Nasrani tersakiti oleh peristiwa ini, sebagaimana ketika Ashar, kawan saya yang Muslim, mendengar kabar di Amerika ada pembakaran Al Quran, di Denmark surat kabar Jyllands-Posten memuat karikatur Nabi Mauhammad SAW.
Sama dengan sikap Andre, Ashar dan sebagian umat Muslim lainnya juga menanggapinya dengan bijaksana, bahwa yang melakukan tindak penistaan terhadap Islam hanyalah oknum yang tak bertanggung jawab, oknum yang tak memikirkan akibat dari perbuatannya. Perbuatan oknum, jelas bukan gambaran dari keseluruhan.
Terlepas dari musabab meletusnya kemarahan, betapapun setiap agama mengajarkan agar manusia bisa mengendalikan amarahnya sehingga tidak menimbulkan api yang bisa membakar apa saja. Yang jadi soal adalah, kenapa belakangan di negeri ini justru kemarahan senantiasa berujung pada ketidak-warasan akal. Rambu-rambu yang diajarkan oleh semua kitab suci seperti tak berarti apa-apa, demikian juga perangkat hukum yang menjaga ketertiban umum, tak berdaya menghadapi amarah warganya.
Tak terbayangkan, jika amarah sekelompok orang dibalas oleh kelompok lainnya. Tentu persoalan akan bertambah panjang dan semrawut, seperti kerusuhan antarsuku di Kalimantan beberapa waktu lalu.Tentu saja, sebagian ada juga yang marah-marah. Mafhumlah, agama adalah fitrah. Menurut para pakar, di dalam jiwa manusia itu ada enam rasa/potensi, yaitu agama, intelek, sosial, susila, harga diri dan seni. Fitrah sendiri adalah potensi-potensi tertentu yang ada pada diri manusia yang telah dibawanya semenjak lahir.
Entahlah apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini. Tapi satu hal, rasanya kita telah kehilangan “cara bertanya” dan “cara menyampaikan pendapat” yang santun, yang dulu dicontohkan oleh leluhur kita.
Dalam keseharian, kerap benar kita menjumpai seorang anak atau remaja yang bertanya begini kepada kita, “Si Polan ada?” Pertanyaan yang dingin dan kaku tanpa menyebut terlebih dahulu orang yang ditanya. “Pak, Bu, Mas, Mba, Si Polan Ada?” Begitu misalnya.
Pun demikian ketika menyampaikan pendapat. Cara-cara berdialog rupanya dianggap bertele-tele. Hajar dulu, urusan belakangan. Dan… bres! Bres! Bres! Setelah semuanya luluh-lantak, setelah semuanya jadi abu, setelah nyawa pegat dari raga, barulah kita ngungun dan bertanya-tanya, betapa telah kelewat jauhnya kita dari yang disebut beradab.
Tapi untunglah, kita masih menyisakan orang-orang baik macam Andre dan Ashar, serta saudara-saudara lainnya yang senantiasa menjaga akal sehatnya, sehingga tidak gampang tersulut amarahnya oleh sebuah sebab yang bahkan telah melukai fitrahnya.
Andre, Ashar, dan saudara-saudara kita yang baik tentu masih percaya, akal sehat adalah benteng pertahanan terakhir bagi kejernihan hati. Akal sehat itulah suluh penerang yang memandu manusia mengenal kemanusiaannya. Itu sebabnya, Ashar tak ikut-ikutan mengumbar amarahnya dengan membalas membakar kitab suci agama lain. Itulah soalnya, Andre masih bisa tersenyum tatkala gereja di Kepunton, Solo dibom.
Terima kasih Andre, untuk senyummu, juga untuk kebaikanmu dengan tidak ikut-ikutan marah. Moga-moga pikiran dan hati kita senantiasa bersih, agar Tuhan tetap tinggal di hati kita sekalian.
Salam damai, untuk kita sekalian.
 

Stop Politisasi Pendidikan!

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman sempat berkicau lewat akun twitternya yang bunyinya “#miris melihat geliat para kandidat gubernur yg terlalu mempolitisir pendidikan lwt try out yg mereka adakan L”. Kicauan teman saya ini mungkin merupakan wujud kekecewaanya terhadap perilaku para kandidat gubernur belakangan ini. Menarik memang mencermati aktivitas para kandidat gubernur Sulawesi Selatan belakangan ini dalam meraup simpati masyarakat. Dua kandidat gubernur, incumbent Syahrul Yasin Limpo dan Walikota Makassar, Ilham Arif Sirajuddin dalam waktu yang hampir bersamaan menggarap suara dari kalangan pemilih pemula dengan menggelar try out bagi para pelajar se-Sulawesi Selatan.
Dalam perspektif komunikasi politik, Try out (baca: simulasi ujian) memang merupakan salah satu cara yang efektif dalam sosialisasi kepada para pemilih pemula sebab momentum ujian masuk ke perguruan tinggi semakin dekat. Pun merupakan hal yang wajar saya kira jika para kandidat berupaya untuk meraih simpati lewat berbagai cara-termasuk menggelar try out-apatahlagi para pelajar saat ini memang sedang mempersiapkan diri dan ingin mengetahui sejauh mana kemampuan mereka sebelum memasuki masa seleksi penerimaan mahasiswa baru. Namun, sayangnya try out yang digelar tidak lagi menyuguhkan nuansa pencerdasan tetapi lebih terasa politis – rasa pilgub. Berbagai upaya untuk mempengaruhi pilihan para pemilih pemula ini pun mendapat komposisi yang lebih banyak dibandingkan upaya pencerdasannya. Sehingga, realitas yang terjadi, try out yang digelar tidak lebih dari sekedar melakukan upaya politisasi pendidikan.
Pemilih Mengambang
Tak dapat dipungkiri jika kalangan pemilih pemula merupakan ceruk pasar yang amat menjanjikan. Betapa tidak, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) jumlah pemilih pemula di Indonesia berkisar 20 persen dari jumlah pemilih secara keseluruhan yang diperkirakan sekitar 153 juta pemilih. Pemilih pemula berkisar pada kisaran usia 17-21 tahun, mereka pada umumnya merupakan pelajar dan mahasiswa tingkat awal. Sehingga secara psikologis, mereka termasuk massa mengambang (swing voters) lantaran mereka masih sekedar jadi pemilih emosional dan belum rasional. Pilihan politik bisa berubah-ubah sesuai pengaruh dari luar dan selera yang pragmatis. Sering pula, pilihan mereka bukan karena paham soal visi dan misi kandidat, tapi cenderung diintervensi oleh isu-isu pencitraan yang bias dan semu.
Meminjam istilah pakar teori kebudayaan Jean Baudrillard, di sinilah demokrasi berpotensi menjelma menjadi hyper demokrasi. Suatu keadaan di mana elemen-elemen demokrasi tumbuh melampaui batas-batas rasionalnya dan kehilangan konteks, makna dan tujuan demos itu sendiri, yaitu kedaulatan rakyat.
Seperti yang sudah-sudah pemilih pemula sekedar dijadikan sebagai raison d’entra untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Politisasi sama dengan manipulasi. Karena dalam demokrasi suara tak ditentukan oleh kualitas intelektual, tapi usia yang sudah ‘akhil baligh’ untuk memilih. Makanya, para kandidat melakukan segala cara untuk meraih suara sebanyak-banyaknya.
Para kandidat lebih memandang pemilih sebagai crowd atau kerumunan yang mudah dimobilisasi. Sehingga, pemaparan visi misi dianggap tak terlalu penting, karena hal paling esensial adalah bagaimana memobilisasi dan meraih simpati massa sebanyak-banyaknya. Pengenalan visi misi kandidat dengan segala idealitas semunya bukan hal yang prioritas, karena pemilih pemula lebih tertarik pada hal yang bernuansa hedonis, hura-hura. Jadi, hal yang biasa jika dalam pelaksanaan try out, panitia pelaksana menghadirkan artis ternama dan menyuguhkan aneka pertunjukan musik yang sama sekali tak memiliki keterkaitan dengan substansi acara. Belum lagi acara semacam ini selalu saja diselipkan door prize, yang membuat massa berharap-harap cemas mendapat hadiah besar tak terduga sehingga saat beruntung mendapatkannya, mereka merasa bersyukur bisa hadir dan mengucapkan terima kasih yang tiada tara.
Stop Politisasi Pendidikan!
Langkah-langkah pragmatis seperti itu nampaknya mesti segera dihentikan. Pendidikan politik sudah harus menjadi hal yang wajib untuk dilakukan oleh para kandidat. Sebab, jika hal ini terus menerus terjadi, maka akan menimbulkan ekses yang negatif terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia, terkhusus di Sulawesi Selatan. Para pemilih pemula menjadi tak terdidik dalam sisi politik. Menjaring massa usia belia jelas bukan hal yang dilarang. Bahkan menjadi tugas para kandidatlah untuk menggaet konstituen dengan latar belakang beragam. Namun, jangan lupa hal yang lebih esensial dari itu adalah pemilih pemula mesti dipahamkan secara mendalam soal visi dan misi kandidat bersangkutan. Bagaimana soal visi para kandidat untuk menjamin pendidikan dan masa depan mereka. Setiap tokoh dan kandidat, diperkenalkan bukan melalui citra yang absurd di media cetak maupun media elektronik. Lagi pula, bukankah citra pura-pura selalu bias dan menipu?. Rakyat sudah kelewat lelah mengamati geliat para politisi yang semakin lihai saja memainkan politik pencitraan. Yang kerjanya menyapa konstituen hanya pada saat pemilu atau pemilihan kepala daerah.
Meminjam ungkapan politisi Budiman Sudjatmiko, para kandidat musti pandai membaca lingkungan. Dalam arti terjun langsung ke ranah di mana anak-anak muda itu berada. Menyerap cita-cita ideal yang mereka inginkan dan bersinergi untuk mewujudkannya adalah langkah politik seorang negarawan yang membumi. Namun, dapat kita lihat belum ada satupun dari bakal calon gubernur ini yang berani mengemukakan bagaimana komitmen mereka untuk mengakomodasi segala kepentingan anak muda, kepentingan terkait keterjaminan pendidikan yang murah dan berkualitas, kejelasan masa depan terkait dengan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Kini perlu ada pembenahan paradigma di dalam menempatkan kalangan pemilih muda pada ruang politik yang lebih luas.  Apa itu?  Yakni meletakkan pelajar sebagai subjek pendidikan politik itu sendiri, tidak melulu sebagai objek politik. Selama ini, secara umum, pemuda (pelajar) sebagaimana masyarakat umum selalu menjadi objek politik. Mereka hanya dilirik untuk hitungan suara saja, tidak lebih.
Hal ini tentu mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pendidikan politik itu sendiri selama ini, yakni pencerdasan politik. Tanpa bermaksud menafikan progress perbaikan kesadaran politik yang ada, merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri jika kita terkadang masih saja menemui pemilih yang sekedar memilih atau asal ikut tanpa diikuti dengan kepahaman dan kesadaran. Penggunaan hak politik mereka tidak diiringi dengan pendidikan politik (political education) yang memadai. Akibatnya bisa dirasakan ketiadaan kesadaran politik yang hadir disetiap kenampakan partisipasi yang mereka lakukan. Hal ini tidak lebih dari sekedar aksi ritual yang lebih mensyaratkan untuk digugurkan, tanpa makna, semoga bukan sebagai aksi apatisme akut akibat kejenuhan emosional.
Selama sudut pandang ini tidak mengalami perubahan, sudah bisa dipastikan hanya akan memicu lahirnya “eksploitasi politik” dikalangan pemilih pemula ini. Selamanya mereka hanya akan menjadi objek penderita, dan objek kepentingan dari sekelompok golongan yang menginginkan dukungan suara semata.
Dalam keadaan demikian sebuah proses pendidikan (education), penyadaran, dan pemberdayaan (empowerment) terhadap para pemilih pemula ini menjadi sangat mendesak untuk dipertimbangkan dan diusahakan. Selain itu pesta demokrasi di  Sulawesi Selatan sudah sedemikian dekat. Dengan usaha penyadaran dan pemberdayaan tersebut diharapkan kesadaran dan kepekaan akan persoalan yang berhubungan dengan kebijakan politik telah mulai tertanam dalam diri mereka melalui proses belajar dalam wilayah kesadarannya, sehingga paling tidak mereka mampu melakukan aktualisasi konsep yang otonom dan independen terbebas dari ikatan sugestif yang hanya menyentuh wilayah pseudo consciousness, suatu bentuk kesadaran fisik yang tidak melalui internalisasi nilai. Dengan demikian juga diharapkan mereka telah mampu memberi perhatian dan kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang tercakup dalam setiap peristiwa dan perubahan fenomena sosial. Serta lebih jauh memberikan tanggapan dan reaksi yang positif dan tepat memecahkan masalah berkenaan dengan persoalan politik serta mampu terlibat langsung dalam proses yang sadar dimana dalam terminologi Samuel P. Huntington sebagai ”tertib politik (political order). Mereka mampu untuk menyalurkan aspirasi dan tuntutannya secara tertib dan teratur sesuai dengan keberadaannya
Olehnya itu, program-program yang berorientasi pendidikan politik menjadi agenda mendesak buat para tim sukses calon dengan bertitik tolak pada empat tujuan utama. Pertama, program yang diadakan mampu menumbuhkan kesadaran berpolitik sejak dini. Kedua, mampu menjadi aktor politik dalam lingkup peran dan status yang disandang. Ketiga, memahami hak dan kewajiban politik sebagai warga negara secara baik. Keempat, secara bijak mampu menentukan sikap dan aktivitas politiknya. Namun, pertanyaannya kemudian, adakah yang mau menempuh jalan ini? Kita lihat saja nanti.
 

Membaca, Tradisi yang Terabaikan

Sungguh agung ayat al-Quran yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad Saw: Iqra’, bacalah. Sepintas, ironi muncul saat itu, mengingat Nabi dikenal sebagai ummi, tidak mampu membaca dan menulis. Lewat penjelasan Jibril dan interpretasi banyak ulama kemudian setidaknya kita bisa mengambil dua hal: pertama, membaca tidak harus bermakna denotatif, mengeja huruf demi huruf. Membaca bisa juga memandang, mempelajari, memahami, menghayati realitas. Kedua, membaca adalah titik yang paling dasar dari tradisi keilmuan manusia. Islam mengangkat tinggi tradisi keilmuan yang merupakan perangkat dasar kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan manusia. Tanpa “membaca”, manusia akan mengalami stagnasi yang memprihatinkan dan kejumudan berpikir. Tulisan ini mencoba mengelaborasi makna kedua ini dalam konteks Indonesia.
Ketika tulisan dan buku ditemukan, dimulailah tradisi baru yang mengubah seratus delapan puluh derajat peradaban manusia. Informasi, petuah, pelajaran, yang tadinya hanya disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut, menjadi sesuatu yang bisa diakses kapanpun di manapun, tanpa reduksi kealpaan daya ingat informan. Ribuan tahun perjalanan sejarah tidak banyak kita ketahui karena tak tertulis.Tak salah jika Louis L’Amour, pengarang terkenal keturunan Prancis, menyatakan bahwa buku adalah kemenangan terbesar yang diraih manusia. Melalui buku itulah ilmu pengetahuan dapat ditularkan ke segenap penjuru dunia. Dalam peradaban modern sekarang, buku kemudian berubah wujud menjadi lembaran-lembaran koran, disket komputer, serta compact disc.
Dalam hal ini kita patut prihatin melihat kondisi Indonesia. Tradisi buku dan membaca belum terlalu mapan di kalangan masyarakat, namun kita sudah harus menerima tradisi lanjutannya, teknologi informasi dan dunia audio visual dengan ditemukannya televisi. Seketika, dunia hiburan merajai tren budaya kita, sementara buku dan tulisan dengan segera juga ditinggalkan. Jadilah kita mengalami apa yang disebut sebagai “lompatan budaya”. Apalagi ketika dunia internet saat ini sudah menjadi bagian dari keseharian kita.
Tengoklah data yang dirilis Kompas (25 Juli 2002), bahwa hanya sekitar satu persen SD Negeri di Tanah Air yang jumlahnya sekitar 260.000, yang memiliki perpustakaan. Itupun dengan kondisi yang masih patut dipertanyakan. Kadang malah justru perpustakaan di sekolah-sekolah lebih mirip gudang buku; tanpa administrasi yang memadai, ruang baca yang layak, dan persediaan buku yang seadanya. Bandingkan dengan sekolah-sekolah di luar negeri, yang menjadikan ruang perpustakaan sebagai prasyarat utama pendirian sekolah.
Sekedar perbandingan lain, ketika merumuskan konstruksi rumah, tidak terpikirkan oleh orang Indonesia untuk memberi porsi khusus untuk ruang baca, bahkan untuk lemari buku sekalipun. Tentu saja kecuali rumah dosen, peneliti, dan kalangan lain yang berhubungan langsung dengan dunia buku dan intelektual. Di negeri-negeri maju, kesadaran membaca sangat terimplementasi ketika mereka memilih sekoalah, membangun rumah, dan bahkan ketika mereka berekreasi.
Ada beberapa hal yang membuat tradisi membaca dan tradisi buku kita jauh terbelakang, bahkan kalah jauh di bawah Malaysia, antara lain:
Pertama, sistem pendidikan nasional kita yang juga berantakan, tidak melatih tradisi pemikiran dan tidak berorientasi menstimulasi kecerdasan dan kecenderungan siswa berdasarkan potensi dan minatnya. Kritik dan cacian terhadap sistem pendidikan yang sangat terbelakang ini toh tidak menjadikan pemerintah kita memberi perhatian lebih. Peran ini direbut oleh swasta dan bahkan lembaga pendidikan asing yang sudah menjamur di kota-kota besar. Tidak heran kemudian banyak bertebaran sekolah-sekolah unggulan berharga ratusan juta. Konsekuensinya, sekolah “bagus” hanya dapat dinikmati oleh anak-anak orang berduit.
Kedua, rendahnya minat dan daya beli masyarakat terhadap buku. Di sisi lain, penghargaan terhadap karya intelektual seseorang juga sangat rendah. Pada akhirnya, industri buku hanya menguntungkan distributor dan toko buku. Bayangkan jika seorang pengarang sekaliber Pramoedya Ananta Toer, yang bukunya selalu menjadi best seller, hanya mendapatkan royalti sebesar 15 % (dan ini tergolong royalti terbesar). Selebihnya adalah keuntungan penerbit dan toko buku. Sementara, jangankan berharap dari subsidi untuk penerbitan buku dari pemerintah, yang ada malah banyak penerbit mengeluhkan pajak penerbitan.
Belum lagi jika kita lihat kesenjangan antara kota besar di Indonesia dengan daerah-daerah lain. Munculnya sekolah-sekolah unggulan dengan fasilitas perpustakaan yang memadai cuma ada di Jakarta dan beberapa kota besar. Begitu juga dengan media massa, dari 300-an media massa yang ada, 60% lebih terkonsentrasi di Jakarta. 40% lainnya tersebar di seluruh wilayah lain di Indonesia.
Yang dominan kemudian adalah dunia hiburan, entertainment, yang relatif diterima di seluruh pelosok lewat saluran televisi. Dalam sebuah seminar, Prof. Dr. Fuad Hasan, mantan Mendiknas Indonesia, juga mensinyalir kecenderungan menurunnya budaya baca sebagai akibat pengaruh audio-visual dari benda ajaib yang disebut sebagai pesawat televisi. ‘’Benda ajaib itu menjadi saingan terberat bagi kegiatan membaca masyarakat. Mereka menjadi semakin malas membaca karena anggapan sudah cukup hanya dengan mendengarkan berbagai informasi dari media audio-visual tersebut,” ungkapnya lebih lanjut.
Kehadiran teknologi internet yang memungkinkan informasi diakses pada saat terjadi, meski berjarak ribuan kilometer, pun tidak banyak membantu tradisi membaca di Indonesia. Hanya sedikit kalangan yang pada dasarnya memang kuat tradisi membacanya, yang memanfaatkan internet sebagai “media informasi”, sementara kebanyakan lainnya menggunakan internet sebagai media hiburan.
Dengan kondisi Indonesia semacam itu, akankah kita percaya bahwa membaca adalah tradisi yang diprovokasi al-Quran sejak pertama kali turun? Akankah kita bisa meyakinkan dunia bahwa Indonesia bukan negeri kebodohan? Entah.